Hak Mendahulu Utang Pajak

Hak mendahulu utang pajak yang dibahas dalam tulisan ini adalah dalam konteks hak yang tidak dapat di eksekusi sebagai  akibat kesalahan fiskus yang tidak menghadiri rapat dan verifikasi pemberesan harta pailit yang dilakukan hakim Pengawas. Eksekusi disini dalam artian melakukan penagihan kepada penanggung pajak ( Direksi/pemegang saham) perseroan dalam pailit.

Negara mempunyai hak mendahulu utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

  • a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  • b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
  • c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Ketentuan tersebut diatas diatur dalam perubahan ketiga UU nomor 28 tahun 2007 tentang KUP Pasal 21 ayat 1.

Hak mendahulu utang pajak dapat dibaca juga pada Penjelasan Pasal 21 ayat 1 berbunyi : Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Jenis Kreditur dalam KUHPer dan Kepailitan

Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU) terdapat 3 jenis kreditur, antara lain kreditur preferen, separatis dan konkruen.

Pertama, Kreditur preferen merupakan kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Sehingga Kreditur preferen dapat didahulukan pelunasan piutangnya karena mempunyai hak istimewa yang mendahului berdasarkan sifat piutangnya. Hak istimewa dapat ditemukan dalam Pasal 1134 KUHPer.

Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya. Dalam hal ini UU KUP telah menentukan bahwa Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya.

Kemudian kreditur separatis, yakni Kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan. Hal ini diatur dalam Pasal 138 UUK, untuk PKPU yang menyebutkan bahwa kreditur yang piutangnya dijamin dengan jaminan kebendaan maka dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya. Adapun jaminan kebendaan yang dimaksud yaitu, gadai, hak tanggungan, fidusia, resi gudang, hipotik.

Sementara kreditur konkuren merupakan kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan, tetapi kreditur ini memiliki hak untuk menagih debitur berdasarkan perjanjian. Namun dalam pelunasan piutang, kreditur konkuren mendapatkan pelunasan yang paling terakhir setelah kreditur preferen dan kreditur separatis terlunasi piutangnya.

Namun Khusus untuk kewajiban terhadap upah buruh,Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 67/2013”) mengutamakan pembayaran upah buruh di atas semua jenis kreditur.

Dari ketiga jenis kreditur di atas, memiliki tingkatan yang berbeda dan proses penyelesaian yang berbeda dalam penyelesaian proses kepailitan.

Perseoran Dalam Pailit

Kurator diangkat pada saat debitur dinyatakan pailit. Sebagai akibat dari keadaan pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.

Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima.

  • Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai Kurator.
  •  Pencatatan harta pailit dapat dilakukan di bawah tangan oleh Kurator dengan persetujuan Hakim Pengawas.
  •  Anggota panitia kreditor sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut.

Segera setelah dibuat pencatatan harta pailit, Kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal Kreditor beserta jumlah piutang masing-masing Kreditor. Pencatatan harta pailit oleh Kurator diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.

Tugas Hakim Pengawas

Dalam putusan pernyataan pailit, selain kurator, harus juga diangkat seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan Apa saja tugas hakim pengawas?

  1. Hakim pengawas memberikan pendapat sebelum pengadilan mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit, dan itu wajib didengar.
  2. Mengingat putusan pernyataan pailit berakibat segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap kekayaan debitur sebelum kepailitan harus dihentikan seketika, maka semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika perlu hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Misalnya pencoretan terhadap penyitan tanah atau kapal terdaftar.
  3. Hakim pengawas berwenang untuk mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan.
  4. Dalam rapat kreditur, tugas hakim pengawas bertindak sebagai ketua. Hakim pengawas menentukan hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditur pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari setelah tanggal putusan pailit diucapkan.
  5. Dalam hal pencocokan piutang, paling lambat 14 hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan:
    1. batas akhir pengajuan tagihan;
    2. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
    3. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang.

Bagaimana jika terjadi suatu kelalaian Fiskus yang tidak menghadiri rapat kreditur yang dilakukan oleh hakim pengawas sehingga verifikasi kewajiban utang pajak tidak dapat diverifikasi. Sampai selanjutnya harta pailit sudah dibagikan kepada kreditur lainnya.

Sampai disini jika tugas Hakim Pengawas dan Kurator sudah dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang ada, maka Hakim Pengawas dan Kurator tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas hilangnya hak mendahuli negara atas utang pajak.

Dengan kondisi diatas apakah Fiskus berhak menagih kepada penanggung pajak dalam hal ini kepada direksi/pemegang saham dengan berpegang pada pasal 76 ayat (1) huruf a. PMK 189/2020? Ini yang menjadi persoalan!

Hilangnya Hak Mendahului

Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:

  • a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
  • b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan

Ketentuan tersebut diatas diatur dalam UU KUP pasal 21 ayat (4). Lebih lanjut hak penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, biaya penagihan daluwarsa 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan PK.

Selanjutnya pasal 22 ayat (2)  berbunyi “Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Paksa; b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Kembali kepada permasalahan kelalaian fiskus tersebut diatas, dan seandainyapun hak mendahului untuk menerima pelunasan utang pajak tersebut belum daluwarsa sebagaimana diatur dalam pasal 22 KUP ayat 1 dan 2, menurut hemat penulis Fiskus tidak berhak menagih utang pajak tersebut kepada Penanggung pajak  sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (1) huruf a. PMK 189/2020 yaitu penagihan pajak dapat dilakukan kepada direksi/pemegang saham selaku penanggung pajak perusahaan pailit. Adalah sangat tidak adil dan merupakan kesewangan jika upaya penagihan paksa tetap dilakukan kepada penanggung Pajak. bagaimana menurut anda?

Baca juga : Pailit, Penanggung Pajak Menjerit

Leave a Comment




Enter Captcha Here :

Open chat
1
need help?
BNKcare
Can we help you?